The Human Factors Approach to Job
Design
Sebuah
rekayasa yang berlaku atau terjadi pada masa Perang Dunia II, yaitu rekayasa
faktor manusia. Rekayasa ini lebih menekankan pada keberadaan manusia itu
sendiri. Beda halnya dengan rekayasa industri yang menggunakan aspek fisik dari
rancangan pekerjaan dan ruangan kerjanya. Tokoh yang mengembangkan rekayasa
industry itu sendiri adalah Frederick Taylor dan team suami-istri Frank dan
Lillian Gilbreth lewat prinsip analisis dan studi geraknya yang hingga saat ini
masih dipergunakan.
Analisis
waktu dan studi gerak itu sendiri merupakan suatu strategi tambahan untuk
menemukan cara yang paling efisien untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Analisis
yang dimaksud meliputi studi perpindahan karyawan untuk menemukan jalan untuk
dapat memaksimalkan kecepatan dan meminimumkan perpindahan yang kurang
bermanfaat.
Studi
waktu dan gerak dipusatkan pada penemuan cara yang terbaik untuk melaksanakan
suatu pekerjaan. Secara tradisionalnya, Psikologi Industri dan Organisasi
jugalah yang berperan untuk menyesuaikan karyawan dengan perkerjaannya, karena
pekerjaan itu sendiri telah dirancang melalui pemilihan dan pelatihan.
Namun,
ketika rekayasa industri itu pun berada pada puncaknya, dimana kemajuan
teknologi mesin dan peralatan melampaui kemampuan metode pemilihan dan
pelatihan yang ada dan menimbulkan kesukaran atau kesusahan dalam menyesuaikan
karyawan dengan pekerjaan yang ada. Hal tersebutlah yang mengakibatkan
berlakunya konsep rekayasa faktor manusia dan menekankan penyesuaian suatu
pekerjaan dengan karyawan yang ada serta penyesuaian karyawan yang ada dengan
pekerjaannya(timbal balik).
Operator-Machine
System
Istilah
system mesin-operator berarti bahwa manusia dan mesin bekerja bersama-sama
untuk dapat menyelesaikan satu pekerjaan. Bekerja secara bersama, namun dengan
tugas yang berbeda. Dimana manusia difungsikan sebagai pemegang kendali dan
mesin itu sendiri yang melakukan pekerjaan, misalnya mesin jahit, dimana
manusia sebagai operator/pengendalinya dan mesin jahitnya sendiri yang
melakukan pekerjaannya. Namun pada system mesin-operator lainnya ada yang
terkadang harus memerlukan operator untuk memperhatikan berbagai macam bentuk
tampilan dan melakukan penyesuaian berdasarkan apa yang dilihatnya. Contohnya pada
mesin fotocopy yang mana masih menggunakan bantuan operator pada bagian dalam
mesin untuk dapat difungsikan atau dijalankan oleh manusia.
Namun,
akibat perkembangan zaman elektronika dan komputer telah memberikan informasi
kepada organisasi bahwa mesin sebenarnya jauh lebih rumit daripada yang
dibayangkan. Dimana pekerjaan yang dilakukan oleh mesin-mesin yang modern
tersebut terutama adalah suatu pengorganisasian dan tampilan informasi.
Operator manusia menggunakan informasi tersebut untuk dapat terus melakukan
sejumlah keputusan yang merupakan bagian utama dari pekerjaannya.
Semakin
rumit mesin-mesin modern menyebabkan semakin besarnya tuntutan akan kemampuan
persepsi dan kognitif dari operator manusia. Tuntutan-tuntutan ini jugalah yang
menambah tekanan bagi psikolog faktor manusia untuk membantu para perancang
industry membuat mekanisme kendali dan tampilan yang kompatibel dengan
kemampuan manusia. Dampak rancangan yang buruk dari mekanisme kendali dan
tampilan pada operasi manusia seringkali terlihat dalam jumlah rata-rata kontak
seseorang dengan obyek sehari-hari.
Dalam system operator
manusia ini, manusia biasanya lebih baik
untuk :
1. Mendeteksi kejadian tak terduga / tidak biasa (unprogrammed) di lingkungan
2. Mengenali
pola rangsangan yang kompleks yang tidak selalu konsisten (sucsh sebagai ucapan manusia)
3. Mengingat sejumlah besar informasi terkait selama jangka waktu yang lama
4. Menerapkan prinsip-prinsip untuk solusi dari masalah
baru
5. Menggambarkan pada pengalaman untuk memodifikasi tindakan
untuk memenuhi kebutuhan situasional berubah
6. Mengembangkan solusi kreatif untuk masalah
7. Menggeneralisasikan
dari pengamatan (penalaran induktif).
Sedangkan mesin
sendiri biasanya lebih baik
untuk :
1. Membuat respon yang cepat
dan konsisten terhadap sinyal masukan
2. Menghitung atau mengukur kuantitas fisik
3. Melakukan tindakan repetitif andal untuk standar yang ditetapkan
4. Mempertahankan tingkat tertentu dari kinerja
selama jangka waktu yang lama
5. Penginderaan rangsangan luar
kemampuan manusia yang paling
6. Mengambil informasi ditentukan dengan
cepat dan akurat atas permintaan
(dengan coding yang tepat dan intructions)
7. Menggunakan
kekuatan besar secara terkendali untuk jangka waktu yang lama
8. Menggabungkan rangsangan ke dalam kelas tertentu (penalaran deduktif)
Psikolog
D.A.Norman (1988) menjelaskan contoh tentang pengaruh dari desain kontrol yang
buruk dan petunjuk mekanismenya beserta contoh penekanan pada sleek design
tanpa menghiraukan asumsi dasar dari human engineering
psychology: kriteria pertama untuk desain kontrol dan petunjuknya adalah
dapat bekerja baik dan mudah dimengerti, sedangkan kriteria kedua yaitu
tampilan dan kenyamanan bagi mereka yang memproduksi dan memasangnya.
The
Design of Controls
Kendali mesin adalah alat yang digunakan untuk mengaktifkan dan
mengoperasikan mesin serta dapat menganggapnya sebagai penghubung antara
manusia dan mesin dalam system operator mesin. Dalam merancang kendali tersebut,
banyak keputusan yang harus diambil untuk menentukan rupa, bentuk, dan letaknya
relative terhadap kapasitas manusia, tujuan, dan kendali atau tampilan lainnya.
Lima kendali yang sederhana dan sering digunakan dibandingkan
dengan empat kriteria operasi manusiawi adalah putaran tangan, knob(continous),
knob(clock stops), tombol tekan, dan pedal. Kriteria yang disebutkan adalah
kecepatan kendali yang dapat digunakan seorang operator untuk membuat
penyesuaian yang diperlukan, ketepatan kendali yang dapat digunakan, usaha
fisik yang diperlukan untuk menggunakan kendali, dan range dari tanggapan yang
dapat diterima oleh kendali.
Contoh yang dapat diambil adalah kendali pada mobil yang terdiri
dari mengaktifkan, menyetir, mempercepat, mengerem, dan mengubah versneling.
Kendali yang dapat dilakukan oleh operator, yaitu:
·
Mulai menjalankan mobil
adalah operasi yang tersendiri
·
Harus menyetir dan
mempercepat secara bersamaan
·
Harus mengubah versneling
secara bersamaan dengan menyetir dan mempercepat sesuai keperluan
·
Harus mengerem sambil
secara bersamaan menyetir dan mengubah versneling.
Dari semua
contoh yang ada, dapat menjelaskan sebuah fakta tentang mesin tersebut yakni
bahwa operator mesin yang berpengalaman menjadi tergantung pada konfigurasi
tertentu dari kendali menekankan pentingnya penelitian faktor manusia di
belakang rancangan kendali tersebut.
The
Design of Display
Peragaan mesin
memberikan operator mesin informasi yang berhubungan dengan kerja. Informasi
tersebut dapat mengenai tentang operasi mesin, atau mungkin juga merupakan
keluaran yang sebenarnya dari mesin itu sendiri. Banyak mesin mempunyai peraga
untuk kedua macam kegunaan tersebut, baik dalam bentuk video maupun audio yang
terdiri atas ukuran, rupa, lokasi, bentuk, dan kompatibilitas.
Hubungan antara
persepsi manusia dan kemampuan mengolah informasi dan rancangan peragaan tsb
tidak selalu nyata, kadang-kadang kita telah jauh dari sasaran sebelum akhirnya
menemukan sesuatu yang penting mengenai hubungan tersebut. Terdapat beberapa faktor
yang dapat menentukan kemudahan dan kecepatan informasi tampilan visual dapat
dimengerti, yaitu penempatan dan faktor lingkungan sekitar yang mempengaruhi.
WORK METHODS
Metode kerja dan perubahan seseorang
dalam melaksanakan tugas merupakan bagian penting dalam job design. Metode kerja dan cara yang paling efektif dan cepat
untuk melaksanakan perkerjaan dipelajari dan diteliti secara intensif oleh para
insinyur teknik industri hingga sekarang. Walaupun usaha – usaha tersebut tidak
selalu dihargai oleh para pekerja yang melakukan pekerjaan karena ketika cara
yang lebih efisien ditemukan maka orang – orang dapat melakukan pekerjaan
dengan lebih cepat. Jadi manajemen mengharapkan adanya peningkatan produksi
dengan pengeluaran biaya yang sama.
Tujuan mempelajari metode kerja
adalah untuk promoting work dan tidak
terlepas dari itu, tujuan mempelajari metode kerja juga adalah untuk mengurangi
kelelahan pekerja dan meningkatkan keselamatan kerja. Akan tetapi sebagian
orang berpendapat bahwa cara yang paling efisien untuk melaksanakan pekerjaan
adalah dengan cara yang paling melelahkan. Promosi kerja yang paling efisien
adalah salah satu tujuan dari mereka yang meneliti tentang metode kerja dan
tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang lain.
Studi tentang metode kerja
menggabungkan berbagai ukuran fisiologis seperti penggunaan energi, detak
jantung, dan usaha otot yang terlibat. Terdapat 2 jenis usaha yang terlibat,
yaitu usaha statik dan usaha dinamik. Usaha dinamik adalah usaha yang mana otot
secara bergantian berkontraksi dan rileks. Misalnya memindahkan barang.
Sedangkan usaha static adalah usaha yang dimana otot berkontaksi dalam jangka
waktu yang lama. Misalnya SPG yang berdiri dalam jangka waktu yang lama.
Perbedaan fisiologis antara
penggunaan usaha dinamik dan static adalah, usaha statik lebih membutuhkan
energi yang lebih banyak dibadingkan dengan usaha dinamik, sehingga membutuhkan
periode istirahat yang lebih panjang dan sering untuk menghindari adanya
penurunan keadaan pada tendon (kumpulan dari ujung otot) dan ligament (yang
menghubungkan persendian) atau harus mengurangi jumlah usaha static yang di
butuhkan dalam melaksanakan pekerjaan. Sedangkan usaha dinamik lebih mengarah
pada pergerakan alami sehingga tidak diperlukan masa istirahat yang panjang dan
sering.
PENGUKURAN BEBAN
KERJA
Pengukuran beban kerja dapat
didefenisikan sebagai istilah pengukuran dari perubahan beban fisik kerja yang
ditanggung oleh seorang pekerja, tetapi gagasan dasar adalah untuk
membandingkan syarat dari tugas kerja dengan kemampuan fisik dan batas rata-rata
dari pekerja, baik pria maupun wanita. Misalnya bagaimana seorang sarjana
desain grafis harus menghasilkan 3 desain yang menarik dalam seminggu dibandingkan dengan seorang
sarjana ilmu komputer.
Pengukuran
yang subjektif mengenai beban kerja merupakan salah satu penelitian ergonomic
yang paling aktif dilakukan. Pada beberapa studi digunakan pengukuran formal.
Sedangkan peneliti lain menggunakan perceived
exertion yaitu penilaian bagi siapa saja yang telah mengikuti instruksi
latihan akademik. Data investisigasi menunjukkan bahwa kebanyakan dari yang
dijelaskan memabantu insinyur teknik untuk mengembangkan physical work method yang lebih manusiawi (mudah untuk
dilaksanakan, tingkat kelelahan rendah dan pekerjaan lebih sedikit) , terkait
dengan cedera dan sebagainya.
THE WORKSPACE
ENVELOPE
Yang dimaksud dengan workspace envelope adalah ruang fisik
tiga dimensi yang mengellilingi pekerja dan dirasa unik bagi setiap pekerja.
Misalnya, kabin bagi nahkoda dan cockpit
bagi pilot. Pekerja seperti sales
sebenarnya tidak memiliki workspace
envelope yang tetap. Oleh karena itu ditetapkan bahwa workspace envelope adalah
ruangan berupa kantor pribadi ataupun ruangan yang dipakai bersama.
Pertanyaan-pertanyaan yang harus diselesaikaan dalam mendesain ruangan kerja
untuk mencapai work performance yang
efektif adalah sebagai berikut :
§ Bagaimanakah
seharusnya ketinggian ruang kerja ?
§ Apakah
kursi yang digunakan individu merupakan jenis kursi yang baik untuk digunakan
dalam jangka waktu yang panjang ?
§ Dimanakah
sebaiknya peralatan yang digunakan sebaiknya diletakkan?
§ Dimanakah
seharusnya meja dan kursi diletakkan? Berkaitan dengan penyusunan rak-rak file,
pintu dan sebaginya?
§ Bagaimanakah
susunan dari workspace envelope yang
membuat pekerja tidak merasa terbatasi ataupun terjebak didalamnya?
Pertanyaan
diatas hanyalah merupakan sebagian kecil dari pertanyaan untuk mempertimbangkan
bagaimana seharunya penyusunan workspace
envelope. Grandjean (1982) menyusun
10 daftar kriteria spesifik untuk desain kursi bagi pekerja kantoran.
Sepertinya itu merupakan solusi yang optimal untuk penyusunan workspace envelope akan tetapi ini
jarang dipraktikkan. Oleh karena itu, disusun dua buah prinsip sebagai pedoman
:
1. Untuk
sejumlah kemungkinan, menyediakan workspace
envelope kursi, meja dan elemen lain yang didesain dengan baik/ sesuai.
2. Elemen
yang tidak pas/ tidak sesuai harus didesain bagi individu yang mungkin akan
tidak nyaman atau kesulitan dengan workspace
envelope-nya. Misalnya dengan pemberian meja yang tinggi bagi individu yang
tinggi agar tidak mengalami sakit punggung.
FLEXIPLACE :
ALTERNATIVE WORK SITES
Banyak organisasi dan kantor yang
tidak dapat memberikan workspace envelope
yang nyaman bagi pekerjanya. Oleh
karena itu berkembang sebuah alternatif untuk tetap bekerja dalam kantor yang
dikenal dengan flexiplace. Flexiplace adalah saat dimana pekerja
dapat bekerja dari rumahnya dan antar pekerja dapat saling bekerjasama dengan
jaringan komputer. Perusahaan dapat menentukan pekerjanya yang memenuhi syarat
untuk dapat bekerja Flexiplace.
Flexiplace ini bisa dilakukan ataupun tidak dilakukan, tergantung pada
perusahaannya.
Bekerja dari rumah (di rumah)
bukanlah hal yang baru, namun sejumlah besar pekerja perusahaan bisa melakukan
pekerjaan penuh waktu di rumah merupakan fenomena yang relative baru. Teknologi
telah memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja tanpa harus meninggalkan rumah.
Misalnya seperti pialang saham, progamer computer, dan analis pasar dapat
melakuakn seluruh pekerjaan mereka dari rumah. Pekerja ini merupakan telecommuters karena mereka menggunakan
computer dan teknologi komunikasi lainnya daripada harus pulang-pergi dari
kantor ke rumah.
Telekomuting memberikan keuntungan
kepada perusahaan seperti peningkatan produktifitas dan penghematan biaya dan
juga menawarkan sesuatu yang diinginkan pekerja seperti mengatur jadwal sendiri
dan memberikan keuntungan bagi pekerja yang memiliki anak yang masih kecil.
Akan tetapi telekomuting menyebabkan banyak pekerja yang kehilangan interaksi
social dari kantor atau munculnya ketakutan akan kurangnya visibilitas yang
akan menyebabkan ketidakstabilan karier.
TANTANGAN BAGI
DESAIN FAKTOR MANUSIA
Inti
dari pendekatan human factor pada job design adalah mencapai keharmonisan
antara human perceptual, kognisi dan
kemampuan fisik ; metode kerja, peralatan, mesin dan bantuan kerja lainnya dan
wilayah/ lingkungan kerja dilaksanakan. Elemen-elemen ini telah ditinjau secara
terpisah, tapi pada prakteknya mereka harus bekerjasama. Namun, tujuan ini
sering kali tidak terpenuhi.
Telekomuting tidak membantu
menjelaskan masalah. Kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan untuk
mengkonfigurasikan ruang kerjanya secara tepat, meskipun pengembangan program
baru untuk membantu memahami pengaturan workstation
yang lebih pantas dan prinsip penyesuaian mungkin dapat membantu (Hochanadel,
1995)
Terdapat
pengecualian, tapi banyak perubahan butuh mengakomodasi kebutuhan khusus
pekerja. Bagi beberapa orang, menggunakan suatu alat yang dapat membantu
pekerjaannya malah dianggap sulit oleh orang tersebut dalam menggunakannya.
Namun sebenarnya perubahan-perubahan tersebut dapat membantu pekerja dalam
lebih memahami masalahnya dan cara mengatasinya yaitu dengan menggunakan alat
bantu. Bagi pekerja yang belum dapat menggunakan alat bantu tersebut maka akan diberikan
pelatihan (training) dalam
menggunakannya. Ergonomi partisifatif dapat digunakan untuk menjembatani kebutuhan antara pendekatan human factor untuk job design dan pendekatan psikologis. Ergonomi partisifatif adalah metode yang konsisten dengan kedua nilai psikolog I/O bertempat pada individu dan apa yang dipelajari sebelumnyva tentang upaya perubahan organisasi yang efektif.
Pendekatan
Psikologi untuk mendesain pekerjaan.
Pendekatan
psikologi pada job design ditandai dengan asumsi bahwa efektivitas dan
efisiensi yang berkorelasi dengan kepuasan. Banyak Psikolog percaya bahwa
kepuasan adalah kunci seseorang untuk mencapai Aktualisasi diri (Maslow,1943)
dan memenuhi kebutuhan tersebut sangat penting sebagai motivasi kerja. Dalam
beberapa masalah kerja seperti pemborosan waktu, keterlambatan, kehilangan
pegawai, kualitas pekerjaan yang buruk, tingkat perpindahan karyawan yang
tinggi, tingkat absensi yang tinggi, dan pemborosan bahan, Para Psikolog I/O menganjurkan pemeriksaan aspek rancangan pekerjaan
secara psikologi.
1.
Perluasan
Pekerjaan (Job Enlargement)
Keputusan dasar dalam Job Design adalah berapa
banyaknya tugas yang harus disertakan dalam definisi sebuah pekerjaan. Ada dua sistem pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi
yaitu pelaksanaan tugas berkali-kali dan pelaksanaan semua tugas yang membuat
pekerjaan lengkap. Pada beberapa Restoran,Contohnya : tugas melayani
pelanggan dibagi antara beberapa pelayan, pelayan minuman anngur, pelayan yang
mencatat pesanan, pelayan dapur yang mengantarkan makanan ke meja, dan pelayan
yang membersihkan. Di restoran lain, satu orang melaksanakan semua fungsi tadi.
Pada awal tahun 1800an, seorang warga negara inggris memperagakan bahwa 10
orang, masing-masing hanya melaksanakan satu tugas, dapat menghasilkan satu pon
pin lurus dengan biaya seperempat dari biaya yg diperlukan jika pin tersebut
diproduksi oleh satu orang yang mengerjakan semua tugas.
Pendekatan spesialisasi
terhadap rancangan pekerjaan ini dipromosikan dan digunakan dengan sukses di
Amerika Serikat oleh para insinyur
industri. Suksesnya spesialisasi pekerjaan tersebut dalam hal
efektivitas dan efisiensi sehingga spesialisasi pekerjaan menjadi dasar untuk
hampir setiap rancangan pekerjaan industri di negara tersebut. Spesialasi
memungkinkan setiap karyawan berkonsentrasi untuk menghasilkan sesuatu yang
baik pada satu atau beberapa tugas. Namun mengerjakan tugas yang sama terus
menerus, delapan jam sehari, lima hari seminggu dan banyak orang yang merasa
bosan dan tidak berarti. Strategi rancangan pekerjaanya berusaha untuk
mengurangi atau menghilangkan hal-hal yang berpotensi menyebabkan masalah
disebut Job Enlargement.
Job Enlargment adalah sebuah rencana membuat
pekerjaan “lebih besar” atau “lebih luas”, dengan menambahkan jumlah tugas
kerja yang harus dilakukan setiap orang . Biasanya, tugas yang diberikan berada
pada tingkat keterampilan atau kesulitan yang sama seperti tugas aslinya (a horizontal loading of tasks). Contohnya:
seorang grafik designer yg mulanya hanya mendesign logo dan kartu nama
perusahaan, sekarang jg ditugaskan untuk mendesign cover buku. Job enlargement berfungsi agar seorang karyawan
tidak jenuh bekerja, karena diberi tugas baru walaupun pekerjaan tersebut masih
dalam tingkat keterampilan/ kesulitan yang sama.
Job
Enlargement menjadi cukup populer pada tahun 1950an dan 1960an karena
adanya minat terhadap sebab-akibat dan pengaruh kebosanan karyawan dan malas
bekerja. Psikolog berasumsi bahwa spesialisasi tugas membuat frustasi orang
yang butuh akan variasi, untuk menghadapi tantangan, dan untuk rasa membuat
kontribusi yang berarti dalam menggapai tujuan kelompok. Job Enlargment dapat mengatasi masalah tersebut. Dalam penerapannya
Job Enlargemnet memiliki sejumlah masalah praktis.
Hasil-hasil
penelitian terhadap pengaruh terhadap perluasan pekerjaan hampir selalu
positif. Seperti yang dilaporkan oleh Killbridge (1960). Dalam studi tersebut, perluasan
pekerjaan dari perakitan pompa air dari satu tugas menjadi merakit, memeriksa,
dan menguji keseluruhan pompa menghasilkan penghematan yang cukup besar bagi
perusahaan yang bersangkutan. Ternyata tidak semua pekerjaan
dapat diperluas dan tidak semua orang mau pekerjaannya diperluas, meskipun hal
itu mungkin. Sebagai tambahan, persayaratan kemampuan dan keahlian pekerjaan
mungkin diluar kemampuan dari si pemegang pekerjaan. Beberapa dari mereka harus
diberikan pelatihan dan beberapa harus diganti.
2.
Pengayaan
Pekerjaan (Job Enrichment)
Sebagai pendekatan
Psikologi terhadap rancangan pekerjaan, Job
enrichment mempunyai banyak kesamaan dengan Job Enlargement. Prinsip utama dari kedua desain pekerjaan ini
didasarkan pada pengapresiasian kebutuhan manusia akan kerja adalah penting. Perbedaannya adalah pada konsep bagaimana mencapainya.
Job Enlargement bekerja atas asumsi
bahwa pekerjaan bergantung pada jumlah dan variasi dari tugas yang ditampilkan
pada umumnya. Sementara itu, Job
Enlargement tidak bergantung pada jumlah dari tugas melainkan dari jenis
tugas tersebut.
Job Enrichment
biasanya memberikan kepada karyawan lebih banyak tanggung jawab dan kekuasan
mengambil keputusan yang berhubungan dengan perencanaan, penjadwalan, dan
pengendalian kerja mereka sendiri. Tugas yang ditambahkan untuk memperkaya
pekerjaan biasanya adalah tugas bertipe manajemen (management-type tasks) yang merupakan vertical loading of job tasks. Dalam melakukan Job Enrichment, teori Hackman dan Oldham (1975, 1976) tentang teori
motivasi sangat mempengaruhi pekerjaan.
Menurut
teori tersebut, the core dimensions
dapat meningkatkan motivasi karyawan, kepuasan kerja, kerja yang berkualitas,
mengurangi absensi dan turnover. Hal ini mempengaruhi tiga psikologis internal
yaitu pengalaman yang berarti, tanggung jawab, dan hasil pengetahuan. Efeknya
akan lebih tinggi pada pekerja yang memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan
berkembang yang lebih tinggi, dan mereka juga tergantung kepada beberapa
tingkat tertentu dalam konteks kepuasan.
3.
Perceived
Versus Objective Task Characteristics.
Hackman dan Oldman
(1974) mengembangkan
sebuah instrumen kuesioner yang disebut Survei pekerjaan dignostic (JSD) untuk
mengukur sejauh mana pekerjaan memiliki 5 karakteristik dalam model mereka.
Asumsi yang mendasari skala adalah bahwa lebih dari
masing-masing karakteristik orang yang melakukan pekerjaan mengatakan itu
memiliki, yang lebih kaya pekerjaan. Sementara itu, The Job Characteristics Inventory (JCI) merupakan alat yang berbeda
tetapi memiliki tujuan yang sama, dan Breaugh (1985, 1989) mengembangkan sebuah
kuisioner terpisah untuk mengukur otonomi pekerjaan (work autonomy). JDS telah sering digunakan sebagai definisi operasional
kekayaan pekerjaan, dan investigasi dari pengukuran sifat skala ini telah
dilakukan. Penelitian ini menemukan bahwa campuran positif dan negatif pada JDS
yang asli menunjukkan kesalahan yang signifikan dalam skor.
Dalam beberapa kasus, kuisioner terbaik dari sudut
pandang pengukuran tidak benar-benar dapat mengukur kekayaan pekerjaan. JDS dan
JCI dan beberapa kuisioner yang serupa lainnya sebenarnya digunakan untuk
mengukur sejauh mana pekerjaan dirasakan oleh orang yang menjawab pertanyaan
tersebut untuk memiliki karakteristik-karakteristik ini. Persepsi tentang
karakteristik pekerjaan yang sama dapat bervariasi berdasarkan perbedaan dalam preferensi individu, latar belakang, usia, dan
tingkat identitas dengan profesi seseorang. Persepsi mengenai karakteristik
pekerjaan dipengaruhi oleh usia, dan identifikasi individual terhadap profesi
pekerjaan, bahkan jenis kelamin orang yang bersangkutan juga ada relevansinya.
Menurut
Salancik dan Pfeffer persepsi karakteristik pekerjaan juga dapat dilakukan
dengan model pengolahan informasi sosial. Dimana dalam model ini, orang
mengambil petunjuk dari karyawan lain tentang cara sikap yang “benar” terhadap
pekerjaan. Jika rekan kerja mengatakan bahwa pekerjaannya besar, karena
menyediakan kesempatan untuk memberikan kontribusi positif pada masyarakat,
karyawan diminta untuk mengisi sebuah kuisioner seperti JDS yang sangat mungkin
untuk mengatakan bahwa pekerjaan itu memiliki makna tugas yang tinggi.
Pentingnya variabel individu dan
situasional yang mempengaruhi bagaimana orang melihat dan menggambarkan pekerjaan mereka terletak pada
kenyataan bahwa orang bereaksi terhadap
pekerjaan mereka berdasarkan cara mereka melihat mereka, bukan pada bagaimana seorang
psikolog I/O melihat mereka.
Dari sudut pandang ini tidak ada hal seperti "obyektif"
karakteristik tugas, situasi yang dapat mengacaukan upaya penelitian
dan menciptakan kesulitan praktis yang cukup untuk psikolog I/O berusaha untuk membantu organisasi menerapkan desain ulang pekerjaan pengayaan.
Terdapat banyak aplikasi pendekatan
psikologis terhadap desain pekerjaan yang telah membawa ke arah peningkatan
kepuasan kerja karyawan,prestasi yang lebih baik,atau kedua-duanya (Hackman
& Oldham,1980). Akan tetapi sulit sekali mempertahankan perbaikan tersebut
untuk jangka waktu yang lama . Salah satu sebabnya adalah manusia yang selalu
berubah.
4. Desain pekerjaan dengan
Socialtechnical (Socialtechnical Job
Design)
Pandangan
sosiotkenis dari organisasi adalah pandangan sistem yang menekankan perlunya
hubungan yang seimbang antara manusia dan komponen teknologi dari sebuah
organisasi.Rancangan pekerjaan dan organisasi sosial menunjuk pada perluasan
teknologi pekerjaan. Beberapa teknologi memperbolehkan individu bekerja dengan
bebas. Teknologi lain menciptakan tugas yang menghendaki pekerja bekerja
bersama-sama.
Bila
diterapkan dalam rancangan pekerjaan, prinsip-prinsip dasar sosioteknis
seringkali menganjurkan pendekatan kelompok atau tim kerja dan bukan
perorangan. Kelompok karyawan diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan
sejumlah unit pekerjaan dan mereka memutuskan antara mereka sendiri dan siapa
yang melaksanakan tugas tertentu pada saat tertentu. Aplikasi yang paling terkenal
dari strategi ini adalah apa yang dihasilkan sejumlah percobaan di pabrik
Saab-Scania di Swedia pada akhir tahun 1960-an. Hasil dari percobaan-percobaan
pabrik tersebut mengalihkan rancangan standar continuous assembly line untuk
perakitan mesin model ke rancangan kelompok perakitan paralel.
Dengan
menggunakan metode kelompok perakitan paralel, beberapa tim karyawan
bertanggung jawab untuk perakitan keseluruhan mesin dan masing-masing tim
bekerja dengan kecepatannya sendiri. Meskipun akibatnya kemudian adalah
melepaskan rancangan sosio-teknis tersebut, kesuksesan tersebut dan program
lain yang mirip Volvo dan perusahaan Eropa yang lain telah membawa sejumlah
perusahaan AS mengambil prinsip-prinsip tadi.
Meskipun
rancangan sosio-teknis seringkali dinyatakan sebagai salah satu bentuk untuk job enrichment, termasuk juga
prinsip-prinsip dasar dari perluasan pekerjaan-variasi tugas atau keterlibatan
perorangan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam tim rancangan
pekerjaan, tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan
pekerjaan, tetapi masing-masing dapat melihat bagaimana usahanya merupakan
bagian dari penyelesaian pekerjaan tersebut. Satu hal yang juga sama pentingnya
ialah tidak ada seorangpun yang dibatasi pada satu tugas yang monoton dan
berulang-ulang kecuali memang hal itu yang dikehendakinya.
Tantangan
Terhadap Ilmu Psikologi untuk Mendesign Pekerjaan
Selama
beberapa waktu peneliti dan aplikasi dari rencana kerja motivasi di dominasi
oleh model-model karakter pekerjaan itu dan cara pengukuran terkait.
Konsentrasi ini menambahkan informsi yang sangat besar terhadap pencapaian
pengetahuan para ahli psikologi industri organisasi mengenai design kerja
psikologis. Pada saat yang bersamaan hal ini juga telah memfokuskan perhatian
terhadap serangkaian variabel tertentu yang telah sangat tidak diperhatikan
oleh fitur pekerjaan lain.
Model
karakteristik pekerjaan dikembangkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Selama masa
itu, pekerjaan telah berubah jauh lebih banyak dikarakter dasarnya daripada
pada saat apapun juga semenjak revolusi industri. Walaupun tidak ada alasan
untuk percaya bahwa karakteristik kerja yang disebut oleh model ini ketinggalan
zaman, ada berbagai macam kemungkinan bahwa karakteristik ini tidak lagi
mencakup semua hal. Tantangan besar yang dihadapi oleh orang-orang yang bekerja
di area ini adalah memperluas jarak pandang mereka untuk meneliti
pekerjaan-pekerjan teknologi baru untuk berbagai macam karakter berbeda yang
mempunyai efek penting terhadap performa dan kesejahteraan seorang pekerja
(Jakson, Wall, Martin, & Davids, 1993).
Tantangan
kedua yang dihadapi psikolog I/O yang bekerja dengan pendekatan psikologi
terhadap design kerja adalah memperbaiki kesatuan antara penelitian dan
aplikasinya. Ini adalah area penelitian yang sangat aktif tapi cuma sebagian
kecil dari penelitian yang dipublikasikan yang berdasarkan interfensi lapangan.
Hasil dari kebanyakan investigasi menyatakan bahwa efek dari “job enrichment”,
“job enlargement”, atau design kerja sosioteknikal tidaklah semudah
mendeskripsikan sebuah perbedaan antara pengukuran kepuasaan atau performa
kerja sebelum dan sesudah penelitian. Seperti yang dijelaskan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Griffin (1991) , efek yang diobservasi oleh sebuah design
kerja mungkin berbeda tergantung kepada kapan observasi itu dibuat. Penelitian
lain menjelaskan bahwa pendekatan seperti ini terhadap design pekerjaan juga
mempengaruhi jauh lebih banyak daripada bagaimana seseorang itu melakukan
pekerjaannya.
Ketika
sekelompok pekerja diberikan skill baru dan tanggung jawab lebih untuk membuat
keputusan dan mendeteksi serta mengkoreksi kesalahan, sifat dasar pekerjaan
dari pengawas mereka juga diubah. Mengubah pekerjaan ini akan mempengaruhi
aktifitas sang manager dan seterusnya. Desaign kerja psikologi tidaklah
sendirian dalam hal menciptakan sistem efek seperti ini dalam sebuah
organisasi, tetapi isu yang terkait cenderung jauh lebih emosional politikal
dan filosofikal daripada isu-isu yang berkenaan dengan pendekatan faktor
manusia.
Kesimpulan
terhadap design pekerjaan
Dua
pandangan yang sangat berbeda terhadap design pekerjaan sudah didiskusikan.
Tujuan dari psikologi dan ahli faktor manusia adalah untuk mendesign pekerjaan
dengan satu cara supaya membantu orang melaksanakannya secara efektif, efisien,
dan selamat dengan tingkat kelelahan dan tekanan minimum. Tujuan psikologi I/O
yang mengambil pendekatan psikologi terhadap design pekerjaan adalah untuk
membuat pekerjaannya lebih memuaskan. Kedua tujuan itu saling melengkapi satu sama
lain dalam teori tapi sangatlah jarang untuk menemukan bahwa kedua bidang ini
diaplikasikan dalam gaya yang terintegrasi.
Tentu
saja ada pengecualian tapi secara umum psikologi I/O dan psikologi faktor
manusia mempunyai tradisi lama untuk tidak mengindahkan keberadaan satu sama
lain. Sebuah pandangan yang lebih produktif mengatakan memakai faktor manusia
atau faktor psikologi sebagai bahan pertimbangan sejak awal.
Pendekatan
yang berbeda terhadap design pekerjaan mempengaruhi hasil yang berbeda, setiap pendekatan
tadi mempunyai biaya dan keuntungan, trade-offs mungkin diperlukan dan baik
teori dan prakteknya seharusnya berhubungan antar disiplin.
Kondisi Kerja
Design
pekerjaan adalah salah satu komponen dari situasi kerja seseorang. Kondisi keja
yang menimbulkan komponen yang lain. Ahli psikologi I/O telah mempelajari
lingkungan kerja fisik selama sejarah panjang bidang ilmu ini. Ini biasanya
terlupakan, tetapi eksperimen Hawthore yang terkenal itu aslinya di buat untuk
menginvestigasi efek perubahan yang dibuat diberbagai macam aspek lingkungan
fisik terhadap performa kerja seorang pegawai. Aspek-aspek tradisional inilah
yang akan ditinjau disini yang termasuk adalah variabel seperti temperatur,
cahaya lampu, keributan, arsitektur dan pengaturan tempat kerja dan distribusi
dari jam kerja pegawai. Aspek psikologi dari lingkungan kerja akan diteliti di
chapter berikut ini.
Temperature of
Workplace
Psikolog
dan orang-orang yang mempelajari efek temperatur terhadap sifat kerja mencoba
untuk menentukan batasan dimana kebanyakan orang dapat melakukan suatu
pekerjaan secara efektif dan nyaman. Ini tidak semudah seperti yang terdengar
karena tidak ada hubungan satu demi satu yang sederhana antara apa yang tertera
di termometer dengan apa yang dianggap nyaman oleh manusia. Kelembapan aliran
udara dan jumlah, ukuran, dan suhu dari objek dan materi disebuah tempat kerja
mempengaruhi temperatur udara. Pakaian dan sifat pekerjaan yang sedang
dilakukan akan mempengaruhi persepsi seseorag terhadap temperatur. Lagipula perbedaan
individu dalam hal fisiologi dapat mempunyai efek besar terhadap kenyamanan.
Beberapa orang tidak merasa dingin sampai mercury-nya menunjukkan 40-50 derajat
F. Yang lainnya mulai gemetar begitu merury-nya turun kebawah 70 derajat F.
Karena
begitu banyak variabel yang mempengaruhi persepsi manusia terhadap temperatur,
satu jenis penelitian terhadap aspek kondisi kerja ini diarahkan kepada
menemukan cara yang terpercaya untuk megukur “temperatur efektif” yaitu
temperatur yang dirasa atau dialami yang berbeda dengan temperatur yang tertera
(e.g., Vogt, Candas, & Libert, 1982). Perkembangan dari rangsangan komputer
untuk memprediksi reaksi manusia terhadap temperatur dalam berbagai macam
kondisi lingkungan adalah hal yang baru tapi menjanjikan untuk menolong
menemukan sebuah jawaban terhadap perdebatan temperatur sebuah kantor.
Para
ilmuan yang sedang menginvestigasi cara untuk mengukur temperatur efektif
sedang melakukan penelitian dasar. Tetapi di area ini kebanyakan psikolog I/O
jauh lebih tertarik terhadap penelitian aplikasi, terutama di hubungan antara
temperatur efektif dan performa kerja. Mereka menemukan bahwa keekstriman baik
dalam hal panas maupun dingin akan mengacu kepada perubahan fisiologi yang
dapat mempunyai efek yang tidak diinginkan terhadap performa kerja. Sifat dasar
dari pekerjaan yang dilakukan dan panjangnya keterpaparan adalah dua faktoryang
biasanya mempuyai pengaruh paling besar mengenai bagaimana temperatur ekstrim
ditempat kerja mempengaruhi orang.
Kebanyakan
penelitian mengenai tugas kognitif kompleks yang memerlukan perhatian terus
menerus menunjukkan bahwa subjek-subjek yang melakukan pekerjaan ini dan
dibawah keterpaparan terhadap temperatur tinggi yang terus menerus melakukan
lebih banyk kesalahan daripada subjek-subjek yang bekerja di temperatur rendah.
Hasil yang dilaporkan dalam suatu penelitian dalam laboratorium terhadap
hubungan antara a) temperatur ruang b) jumlah waktu dimana subjek dapat
meneruskan untuk melakukan tugas-tugas kognitif sesuai dengan standart ketepatan
yang diminta dipertontonkan di figure 8-8. Waktu berkurang sangat tajam apabila
temperatur naik kira-kira 80 derajat F, ditemperatur diatas 100 derajat F
subjek-subjek tidak dapat memenuhi standart performa selama setidak-tidaknya
satu jam.
Performa untuk tugas-tugas motorik
juga cenderung memburuk ditemperatur tinggi. Di tugas-tugas seperti ini
seseorang mesti mendapat rangsangan (persepsi) dan kemudian memberikan
respon(reaksi motorik) berdasarkan apa yang dilihat atau didengar atau dicium
atau dirasa. Temperatur dingin mempunyai efek buruk terhadap jenis-jenis
tertentu dari tugas-tugas kogntif dan motorik, tapi perubahan fisiologi yang
menyertai rasa dingin yang ekstrim (contohnya jari yang membeku) biasanya
mempunyai efek yang lebih besar terhadap pekerjaan manual.
Apabila
kerja manual yang sangat berat dilakukan, kebanyakan orang kelihatannya lebih
efisien dan nyaman dengan temperatur dibawah pekerjaan-pekerjaan dimana tugas
kognitif dan tugas motorik dapat dilakukan secara efektif.
Hasil
dari penelitian temperatur untuk mengontrol temperatur di lingkungan kerja
biasanya langsung. Kebanyakan orang melakukan kerja-kerja kantor dan kerja
manual ringan paling efisien dan paling nyaman dengan temperatur efektif yang
tidak lebih tinggi daripada 80 derajat F. Temperatur yang lebih dingin biasanya
lebih bagus untuk kerja manual berat. Rekomendasi khusus untuk berbagai tugas
kerja ditawarkan oleh American Society of Heating Refrigerating and Air
Conditioning Engineers di buka Fundamentals Handbook mereka ditinjau secara
periodik.
Rekomendasi
ASHRAE ini bedasarkan asumsi bahwa temperatur tempat kerja dapat dikontrol,
tapi banyak orang yang bekerja diluar ruangan. Pekerja bangunan, pekebun dan
pmadm adalah orang-orang yang bekerja yang diteperatur apapun yang ada. Jika
temperatur-temperatur ini ekstrim, baik kesehatan maupun performa pekerja
berada dalam bahaya kecuali jika efek fisiologi buruk ini di perbaiki dengan
cara rotasi kerja atau masa-masa istirahat reguler.
Illumination of
the Workplace
Seperti
para peneliti yang meneliti tentang pengaruh suhu udara terhadap efektivitas
dan kenyamanan kerja, para peneliti illuminati (pencahayaan) juga ingin membuat
rumusan tentang tingkat pencahayaan terbaik dalam lingkungan kerja. Pertanyaan
– pertanyaan yang berhubungan dengan pencahayaan adalah jumlah sumber cahaya (disebut
dengan luminaries), jenis, dan penempatannya dalam lingkungan kerja. Persepsi
tentang cahaya, sama halnya seperti persepsi tentang suhu udara berbeda-beda
bagi setiap orang, tergantung pada kemampuan melihat seseorang dan keadaan
ruangan, hanya saja perbedaannya tidak terlalu dramatis. Oleh karena itu,
menentukan pencahayaan dalam lingkungan kerja lebih mudah dari pada menentukan
suhu udara kerja.
Ada
tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pencahayaan ruang kerja. Hal
pertama adalah jenis pekerjaan. Tugas seperti membaca atau mengawasi (
monitoring ) akan lebih membutuhkan banyak sumber cahaya dari pada mengangkat
telepon, mengatur pertemuan, atau memindahkan
kardus. Hal kedua yang perlu diperhatikan
dalam pengaturan pencahayaan adalah atribut visual benda-benda yang digunakan
dalam bekerja, misalnya warna dan ukuran.
Membaca
pada umumnya memang membutuhkan pencahayaan yang banyak, tetapi tidak selalu
demikian. Contohnya, dibutuhkan lebih banyak cahaya untuk membaca huruf-huruf
yang berukuran kecil pada buku telepon dari pada untuk membaca huruf-huruf yang
berukuran besar pada kertas karton. Begitu juga dengan warna-warna tertentu,
misalnya kuning, atau merah, dapat lebih mudah dibaca dalam pencahayaan yang
lebih sedikit dari pada warna lainnya, seperti abu-abu, coklat, atau hijau. Hal
ketiga yang perlu diperhatikan dalam pengaturan cahaya adalah kontras warna.
Biasanya pada pencahayaan yang lebih sedikit dibutuhkan warna-warna yang lebih
kontras untuk mencapai akurasi dalam bekerja (Gilbert & Hopkinson, 1949).
Noise in the
Workplace
Keributan
di lingkungan kerja dapat terjadi dari beberapa sumber. Beberapa karyawan di
bidang industri, bekerja dalam keributan yang tidak memungkinkan untuk melakukan
percakapan biasa. Karyawan di kantor pasti juga harus tahan bekerja dengan
suara mesin-mesin di kantor, bunyi telepon, percakapan antar orang-orang,
bahkan musik. Keributan di tempat kerja, bersumber dari alat-alat, mesin, dan
orang-orang yang bekerja.
Suara
dapat berpengaruh pada fisik dan psikologis tergantung pada pilihan kondisi
kerjanya. Setelah lebih dari 50 tahun melakukan penelitian, beberapa peneliti
menemukan bahwa mendengar keributan dalam jangka waktu yang lama akan
menghambat performa kerja seseorang atau bahkan menghambat proses mempelajari
suatu tugas kerja baru (Loewen & Key & Payne, 1981). Akan tetapi,
beberapa peneliti lain menemukan bahwa pengaruh negatif dari suara ribut
terhadap performa kerja tidak dapat diprediksi (Davies & Jones, 1985).
Hal
ini tentu membingungkan. Akan tetapi selain pertimbangan psikologis, suara
ribut di ruang kerja juga harus ditinjau dari segi fisik. Bekerja dengan
mendengar suara ribut yang terus menerus akan merusak pendengaran seseorang.
Contohnya, pekerja lapangan yang terus menerus mendengarkan suara mesin akan
mengalami gangguan pendengaran atau bahkan hampir kehilangan pendengaran.
National
Institute Occupational Safety and Health (NIOSH) memperkirakan lebih dari 30
juta orang bekerja dalam suasana ribut yang dapat mengganggu pendengaran. Untuk
itu, Kementerian Tenaga Kerja AS menyarankan pelindung bagi para pekerja yang
beresiko terkena gangguan pendengaran. Hasilnya, banyak pekerja yang
menggunakan pelindung telinga selama bekerja.
Bagi para pekerja yang lebih menyukai bekerja dengan musik, disarankan
menggunakan earphone saja, agar tidak mengganggu pekerja yang lain yang mugkin
tidak dapat bekerja dengan mendengarkan musik.
Working-Hour Distribution
Menanggapi
berbagai pengaruh, jam kerja pola distribusi di negeri ini telah berkembang
menjadi pengaturan standar delapan jam per hari, lima hari seminggu. Organisasi
yang harus beroperasi selama lebih dari delapan jam berturut-turut per hari
biasanya memiliki dua atau lebih delapan jam-shift, tetapi sejumlah variasi
pada pola standar telah dirancang dan diimplementasikan. Dua diantaranya --- The
Compressed Work Week dan Flexible Working Hours --- dibahas di sini,
bersama dengan beberapa kesimpulan dari penelitian standar perubahan-pola
kerja.
The Compressed Work Week
A
Compressed Work Week (CWW) adalah pembagian standar kembali
pada 40 jam kerja. Pada umumnya, orang
bekerja empat hari dalam seminggu dan masih dimasukkan ke dalam 40 jam karena
mereka bekerja 10 jam sehari. Beberapa industri dan profesi telah mengembangkan
rencana lain. Beberapa menawarkan tiga hari, 12 jam hari kerja
"seminggu". Bank dunia di Washington D.C bereksperimen dengan rencana
9/1, yang memberikan karyawan yang waktu bekerja diperpanjang sembilan jam perhari maka hari
kesepuluh libur.
Kompresi
seminggu kerja menawarkan karyawan
sebuah waktu pribadi lebih besar daripada pengaturan jam kerja standar. Manfaat yang diyakini terkait adalah berkurangnya peningkatan kecemasan dan stres dalam kehidupan di rumah.
Diharapkan bahwa manfaat selanjutnya akan dikaitkan dengan berkurangnya
ketidakhadiran dari tempat kerja, tingkah laku yang lebih baik terhadap
organisasi, kepuasan kerja lebih baik, dan produktifitas meningkat.
Penelitian kedalam ekspektasi
disebutkan secara umum tertinggal dibelakang adopsi dari berbagai bentuk
rencana. Salah satu kajian awal literatur tentang penjadwalan kerja (Ronen
& Primps, 1981) muncul hanya 14 laporan yang jelas relevan dengan isu-isu
CWW. Penelitian ini mendukung asumsi bahwa penjadwalan diasosiasikan dengan
peningkatan di dalam kualitas kehidupan rumah dan waktu luang. Dalam sedikitnya
lebih dari setengah studi ditinjau, ada
juga perubahan positif hadir dan melaporkan kepuasan kerja. Kelelahan karyawan,
bagaimanapun, cenderung untuk meningkat di bawah CWW.
Penelitian ketika peninjauan oleh
Ronen and Primps pada umumnya mendukung asosiasi diantara implementasi dari CWW
dan meningkatkan kepuasan dengan penjadwalan kerja. (e.g. Cunningham, 1989;
Dunham, Pierce, & Castanѐda, 1987). Ada berkurangnya bukti peningkatan
produktivitas, tetapi beberapa bukti bahwa performa tidak berkurang dibawah
penjadwalan CWW (e.g., Duchon, Keran & Smith, 1994). Di sisi lain,
kelelahan tetap menjadi masalah, dan ada kekhawatiran bahwa hal itu dapat
menyebabkan kecelakaan dan cedera lebih.
Meskipun ada beberapa kelemahan
potensial, kompresi minggu kerja tampaknya akan ada pada caranya menjadi
sesuatu yang biasa. Pada pertengahan tahun 1990-an, sekitar 25% organisasi
terbesar memakai penjadwalan ini untuk beberapa atau semua karyawannya. Banyak
alasan dibalik ini, diantaranya adalah fakta bahwa CWW menghasilkan cara untuk
menganggapi meningkatnya permintaan pada fleksibilitas tempat kerja yang jauh
lebih mudah untuk mengelola daripada yang paling umum alternatif nya, flextime
(jam kerja yang fleksibel).
Flexible Working Hours
Istilah
Flexible Working Hours (disingkat Flextime atau Flexitime) mengacu pada
berbagai rentang variasi dalam pendistribusian jam kerja. Semuanya dikarakteristikkan
dengan beberapa jumlah jam pokok ketika semua karyawan dalam organisasi
bekerja, bersamaan dengan beberapa fleksibilitas waktu datang dan waktu pulang
keduanya termasuk dalam bagian utama(core). Konsep dasarnya
diilustrasikan dalam figur 8-11. Pada diagram ini seluruh karyawan harus
bekerja antara jam 09:15 pagi sampai jam 12:00 siang, dan 02:00 siang sampai
jam 04:15 sore (jam pokok), tetapi mereka mempunyai waktu fleksibilitas yang
besar ketika mereka datang, makan siang, dan pulang. Seseorang boleh dapat
datang bekerja lebih cepat sekitar jam 07:30 pagi dan pulang sekitar jam 04:15
sore.; yang lainnnya boleh datang paling lama jam 09:15 pagi dan pulang jam 6
sore.
Flextime
sudah ada sejak lebih dari 60 tahun yang lalu. Pemerintahan memulai untuk
meneliti dengan jam kerja yang padat pada tahun 1930’an, ketika lalu lintas di
daerah Kolombia meningkat tajam daripada pembangunan jalan, dan karyawan
terlambat dan tidak hadir bekerja mulai merajalela.
Karyawan datang dan pergi pada waktu
yang berbeda adalah situasi yang tidak layak pada suatu organisasi, tetapi itu
dapat ditangani, keuntungan potensial dari flextime untuk karyawan sangat
besar. Mereka dapat menghindari jam sibuk lalu lintas, menangani tugas pribadi selama
jam bisnis normal bukannya mencoba untuk menyesuaikan pada waktu makan siang
atau saat akhir pekan, di rumah ketika anak-anak pulang sekolah atau tidur lama
--- apapun sesuai dengan kebutuhan khusus dan situasi mereka.
Penelitian mengenai flextime lebih
komprehensif daripada compressed work week. Terdapat sejumlah uji coba
lapangan pada pengaturan kerja, seperti yang dilakukan oleh Narayan dan Nath
(1982). Subjek penelitiannya adalah karyawan dari sebuah perusahaan besar
multinasional. Kelompok percobaan (Flextime) dan kelompok kontrol (jam kerja
standar) disesuaikan pada usia, masa jabatan, pendidikan, gaji, dan tingkat
kehadiran. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada
tindakan produksi atau laporan kepuasan kerja, tetapi subjek penelitian
menunjukan pekerjaan fleksibilitas yang lebih bagus, hubungan kelompok kerja
lebih baik, hubungan supervisor-subordinate yang lebih baik, sedikit
ketidakhadiran dibandingkan kelompok kontrol.
Narayanan dan Naith menemukan bahwa
flextime diasosiasikan dengan berkurangnya ketidakhadiran adalah konsisten
dengan penelitian lainnya. Review pada 24 flextime, Raltson dan Flanagan (1985)
melaporkan bahwa ketidakhadiran dan turnover berkurang pada kebanyakan
semua organisasi yang mengukur variabel itu.
Asosiasi antara implementasi dari
flextime dan pengurangan ketidakhadiran lebih handal daripada hubungan lain
antara flextime dan peningkatan produktivitas. Bukti yang ada cukup untuk
menunjukkan bahwa kesimpulan yang paling valid itu tergantung.
Sejumlah situasi pekerjaan dimana co-workers
harus membagi peralatan relatif kecil, dan keuntungan produktivitas dari
flextime dalam situasi lain belum didemonstrasikan dengan cara yang meyakinkan.
Seperti kompresi minggu kerja, bagaimanapun, flextime terlihat diasosiasikan
dengan peningkatan kepuasan kerja (e.g, Ralston, 1989), sama baiknya dengan
penurunan ketidakhadiran pada karyawan yang berpartisipasi dalam sukarela.
Seorang psikolog industri dan
organisasi yang membuat hipotesis sebuah hubungan negatif antara kepuasan kerja
dan ketidakhadiran yang terjadi untuk
mengadakan studi pada sebuah perusahaan dengan berkedudukan kuat dan suksesnya
kompresi minggu kerja atau kebijakan penjadwalan kerja flextime di tempat
sangat baik dalam mengumpulkan data yang mendukung hipotesis (seperti yang
didiskusikan, kepuasan kerja cenderung meningkat dan ketidakhadiran cenderung
menurun dibawah keduanya dari pendisrtibusian jam kerja).
Apakah
kepuasan kerja dan ketidakhadiran berhubungan satu sama lain dalam suatu
organisasi? Tanpa informasi berlebih, tidak ada cara untuk menentukan. Dua
variabel (kepuasan kerja dan ketidakhadiran) yang berhubungan berhubungan
dengan variabel ketiga (penjadwalan kerja non-tradisional) tidak selalu
berhubungan antara satu sama lain. Jika sebelumnya ketidakhadiran pada
perusahaan itu menghasilkan upaya karyawan yang gagal untuk kehidupan pribadi
dan kehidupan kerja, psikolog industri dan organisasi mengamati hubungan antara
ketidakhadiran dan kepuasan kerja (terkadang) memiliki hubungan yang tidak
tepat.
Shift Work
Pergantian
kerja adalah suatu pekerjaan dalam
periode waktu 24 jam yang mana satu atau kelompok orang dijadwalkan
atau diatur untuk bekerja di tempat kerja (Tayari and Smith, 1997).
Pergantian kerja biasanya diterapkan pada sektor pekerjaan yang memberikan
pelayanan 24 jam sehari misalnya rumah sakit, kantor polisi, pemadam kebakaran,
dll. Pergantian kerja adalah metode pembentukan dari distribusi jam kerja.
Sistem shift work biasanya dibagi menjadi 3 bagian yaitu day (pagi), afternoon (siang), dan night (malam).
Sistem seperti ini memberikan jam kerja yang berbeda-beda pada setiap karyawan.
Selain itu dalam kurun waktu tertentu, biasanya shift dalam karyawan akan
disusun ulang.
Shift Work and Attitudes
Banyak
karyawan yang bekerja dalam sistem shift work lebih suka dengan sistem kerja
yang permanen. Alasan utamanya adalah gangguan pada kebiasaan makan, waktu
bertemu keluarga, dan kehidupan sosial. Persepsi setiap orang berbeda-beda
terhadap sistem kerja shift work ini. Berdasarkan hasil penelitian, sepertiga
dari pekerja memilih bekerja secara permanen pada shift malam. Selain itu,
penelitian yang lain juga menunjukkan fakta pemilihan shift malam secara
sukarela juga baik bagi para pekerja (Barton, Smith, Totterdell, Spelten, &
Folkard, 1993; Dirkx, 1993).
Beberapa
keuntungan dari sistem kerja malam adalah pengawasan lebih sedikit, jumlah
pekerjaannya biasanya lebih sedikit, dan memberikan kebebasan pada siang hari
untuk melakukan keperluan pribadinya. Selain itu ada juga sekelompok pekerja
lain, yang memilih sistem shift work berotasi. Misalnya, 4 hari shift malam, 3
hari off (tidak bekerja), dan 5 hari shift siang. Oleh karena itu, sangat baik
bila pekerja dibiarkan memilih susunan shift kerja yang sesuai dengan mereka.
Shift Work and Job Performance
Tidak
banyak laporan dari psikolog Industri dan Organisasi tentang perbedaan kinerja
pekerja pada shift nya masing-masing. Satu hal yang pasti, mereka menemukan
adanya kecenderungan bahwa pada shift malam, hasil kerja pekerja lebih rendah
dan tingkat kesalahan lebih tinggi (Jamal & Jamal, 1982). Berikut ini
adalah beberapa penjelasan mengapa hal itu mungkin terjadi.
1.
Pekerja
sebenarnya tidak ingin bekerja pada malam hari tetapi demi mempertahankan
pekerjaannya mereka tetap bekerja pada malam hari, sehingga mereka bekerja
kurang maksimal atau rentan membuat kesalahan kerja atau kedua-duanya.
2. Banyak
fasilitas pendukung kerja dalam perusahaan pada malam hari, sudah dimatikan.
Sehingga walaupun pekerjaan bisa diselesaikan, tetapi biasanya tidak sepenuhnya
selesai karena informasi pendukungnya tidak cukup.
3. Pengawasan
pada malam hari lebih sedikit pada beberapa organisasi sehingga akan
mempengaruhi kinerja.
4. Pekerja
yang bekerja pada malam hari sebagai akibat dari rotasi shift, akan sulit
beradaptasi secara fisik sehingga mengganggu kinerjanya (Totterdell, Spelten,
Smith, Barton, & Folkard, 1995).
Shift Work and Employee
Health
Kedua
shift kerja baik siang maupun malam tidak dapat terhindarkan pekerja. Pekerja
shift malam biasanya lebih rentan mengalami masalah kesehatan daripada pekerja
shift siang (Costa, 1996). Rotasi shift kerja bahkan bisa lebih berbahaya bagi
kesehatan karena tubuh harus mampu beradaptasi pada jam kerja yang baru.
Apalagi para pekerja tidak diizinkan untuk melakukan hal-hal selain pekerjaan
termasuk makan atau tidur sebelum ada pergantian.
Kesimpulannya,
banyak faktor termasuk kecepatan rotasi shift (seberapa sering seseorang
berpindah), arah rotasi shift (dari siang ke malam atau sebaliknya), jenis
pekerjaan, dan lamanya tidur yang bisa didapatkan pekerja pada saat tidak masuk
kerja, mempengaruhi respon pekerja terhadap shift kerja (Knauth, 1996). Di
samping itu, tidak semua orang secara negatif dipengaruhi oleh penyimpangan
dari rutinitas, serta peranan tertentu karakteristik individu karyawan mungkin
cukup besar (e.g., Hārmā, 1996).
Work
Scheduling and Work-Related Fatigue
Kebutuhan
beroperasi selama 24 jam sering mengakibatkan kurangnya waktu tidur dan
mengakibatkan kelelahan pada banyak pekerja. Sebagaimana diukur oleh kualitas
performa kerja, kelelahan dengan cepat merupakan kelemahan utama terbesar pada compressed
work week dan schedule flextime. Hal tersebut juga merupakan masalah
utama bagi orang-orang yang bekerja lembur (over time). Ada banyak
perusahaan yang menginginkan jumlah produksi yang besar tetapi tidak ingin
menambah pekerja. Oleh karena itu, kerja lembur menjadi satu-satunya jalan yang
ditempuh perusahaan. Strategi ini memang terbilang cukup efektif dan banyak
pekerja suka bekerja lembur karena mendapat uang tambahan. Akan tetapi hal ini
kemudian menjadi penyebab utama kelelahan pada pekerja.
Jam panjang dan/atau jadwal tidak
teratur bukan satu-satunya penyebab kelelahan di tempat kerja,
juga tidak semua kelelahan fisik (e.g., Okogbaa, Shell, &
Filipusic, 1994). Berbagai faktor lain dalam situasi kerja juga
terkait dengan pengalaman kelelahan. Finkelman (1994) melaporkan
bahwa, hal lain dianggap sama, karyawan yang memiliki kontrol
pekerjaan yang rendah, tingkat upah rendah, pengawasan yang
kurang, dan tantangan kerja yang rendah adalah lebih besar
kemungkinannya untuk mengalami nonjadwal yang berhubungan dengan kelelahan.
Faktor pribadi, seperti tidur yang buruk, makan, dan kebiasaan
kesehatan umum juga berperan dalam perlawanan yang lebih rendah
untuk kelelahan.
Ada
banyak contoh lain diantaranya, faktor kelelahan dinyatakan pada 1989 landasan Exxon
Valdez, pada tahun 1994 terjadi kecelakaan DC-8 pada sebuah
pangkalan angkatan udara Amerika Serikat. Setelah diselidiki ternyata navigator
sudah bekerja selama 21 jam penuh tanpa tidur dan pilotnya bekerja hampir 24
jam.
Selain
hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan ada juga faktor lain yang dapat
menyebabkan kelelahan pada pekerja yaitu pola tidur dan pola makan yang tidak
teratur. Ada juga pekerja yang mempunyai dua pekerjaan, hal tersebut bisa
mengakibatkan kelelahan juga. Intinya, apapun yang menyebabkan kelelahan
pekerja pada saat kerja pasti mempengaruhi kesehatan, keselamatan, dan kinerja
secara negatif. Semakin lama hal ini terjadi, semakin besar kemungkinan terjadi
pengaruh negatif tersebut.
Solusi
untuk hal ini, contohnya perusahaan dapat memberikan short naps (tidur singkat)
kepada pekerja yang terlihat sudah sangat kelelahan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tim Z menemukan bahwa awak pesawat yang diberikan tidur
singkat 40 menit selama penerbangan, lebih waspada dan memiliki kinerja yang
lebih baik daripada awak pesawat yang lain. Dalam hal seperti ini Psikolog
Industri dan Organisasi mampu memberikan kontribusi yang signifikan khusunya
melalui penelitian untuk menunjukkan hubungan antara kelelahan dan kinerja
pekerja, ketidakhadiran, turnover, dan kepuasan kerja.
REFERENCE:
REFERENCE:
Jewell,
L.N. (1998). Contemporary
Industrial/organizational Psychology. California: Brooks/Cole Publishing
Company.
http://id.prmob.net/telecommuting/pekerjaan/flextime-268155.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar